Sejarah Zakat dan Perkembangannya

Pada dasarnya, zakat telah muncul pada masa kenabian Rasulullah SAW di Mekkah dan hal ini tercantum di beberapa surat Makkiyah.
Meskipun demikian, pengertian zakat pada periode Mekkah ini berbeda dengan zakat di periode Madinah. Zakat dalam surat-surat Makkiyah bersifat tidak mengikat dan tidak ditentukan secara spesifik sebagaimana zakat yang diwajibkan pada periode Madinah yang dikenal hingga saat ini.
Pada periode kenabian di Madinah, perintah yang mewajibkan zakat secara khusus mulai turun pada tahun ke 2 Hijriah. Dan pada awalnya, zakat yang mula-mula diperintahkan adalah zakat fitrah.
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia, dan perkataan keji dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah.
Di dalam Al-Qur’an, zakat juga turut disandingkan dengan shalat, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 110. Allah SWT Berfirman:
Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Para ulama berpendapat bahwa mendirikan shalat tanpa menunaikan zakat merupakan suatu kesia-siaan, karena keduanya dipandang memiliki tingkat kewajiban yang sama.
Pada periode kepemimpinan Rasulullah SAW ini, fondasi-fondasi administrasi terkait pengelolaan zakat sudah mulai dilakukan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya penunjukkan khusus kepada beberapa sahabat untuk menjadi amil zakat, yang saat itu bertugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Pada periode ini juga hal-hal terkait teknis pengumpulan dan pengelolaan zakat seperti besaran yang harus dikeluarkan, cara mengumpulkan, dan mendistribusikannya dijelaskan dalam hadits Nabi.