“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah,”Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh”. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka, Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” [QS. At-Taubah (9): 75-78].
Di masa Nabi Saw, ada seseorang bernama Tsalabah bin Hatib yang hanya memiliki sehelai pakaian yang digunakan secara bergantian dengan istrinya. Tapi di tengah serba kekurangan tersebut, dia rajin beribadah, seperti shalat berjamaah bersama para sahabat yang lain.
Tsa’labah bin Hatib ini tinggal di Kota Madinah. Dengan kondisi yang dialami tersebut, bisa dikatakan hidup Tsa’labah sangat miskin dengan harta. Itu terjadi kepadanya bertahun-tahun lamanya.
Suatu ketika dia bosan hidup dalam keadaan miskin. Akhirnya, dia mencari cara praktis agar kehidupannya dapat berubah. Caranya adalah meminta kepada Rasulullah Saw untuk didoakan kepada Allah Swt agar memiliki harta kekayaan melimpah.
Namun, Rasulullah Saw tidak langsung memenuhi keinginan Tsa’labah. Beliau khawatir Tsa’labah tidak mampu memikul amanat kekayaan yang nantinya akan menjadi miliknya.
Karena terus merengek, Rasulullah Saw pun berdoa pada Allah Swt untuk menjadikan Tsa’labah sebagai orang kaya. Alkisah, Tsa’labah pun menjadi orang kaya.
Namun sayang, kekayaan tersebut membuatnya lupa daratan. Prediksi Nabi ternyata benar. Tsa’labah jarang salah berjamaah lagi. Dia juga kikir, dan tidak mau bayar zakat.
Dari tingkah yang dilakukan Tsa’labah ini, maka Allah Swt turunkan beberapa ayat Alquran berkenaan dengan sikapnya tersebut. Yaitu QS At-Taubah (9) ayat 75-78. Ulama Tafsir di antaranya Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri yang menyebutkannya.
Menurut para mufassirin, asbabun nuzul ayat ini yang dijelaskan dalam Al Hidayah [Al-Qur’an Tafsir per Kata, Hal.200], bahwa Abu Umamah mengatakan, suatu ketika Tsa’labah bin Hathib berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku harta berlimpah. ”Rasulullah menjawab,”Celaka kamu Tsa’labah, sesungguhnya harta yang sedikit tetapi tetapi disyukuri lebih baik daripada harta yang banyak tetapi tidak kamu syukuri”.
Tsa’labah berkata,”Demi Allah, jika Allah memberiku harta berlimpah, aku pasti akan memenuhi hak atas harta itu”. Kemudian atas do’a beliau, kambing milik Tsa’labah berkembang dengan biak sangat pesat, hingga memenuhi dan membuat sempit kota Madinah. Akhirnya ia pindah dan menungsikan peternakan kambingnya jauh dari Madinah.
Akibat sibuk mengurus peternakannya, ia tidak lagi shalat berjamaah di masjid bersama Rasulullah Saw dan para sahabat yang lain. Tak lama kemudian, turun ayat yang mewajibkan seorang muslim yang kaya untuk menunaikan zakatnya [QS. 9:103]. Kemudian Rasulullah mengutus dua orang sahabat kepada Tsa’labah agar membayar zakat. Atas hal itu turunlah keempat ayat ini yang secara tegas mengancam muslim yang ingkar membayar zakat.
Ibnu Jarir, ibnu Mardawiyah, dan Baihaqi mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abbas tentang firman Allah ini juga menjelaskan, “bahwa seorang lelaki Ansar bernama Tsa’labah datang ke suatu majelis. Dia meminta kesaksian kepada mereka, seraya berkata,”Sekiranya Allah memberikan kepada ku sebagian dari karunia-Nya, niscaya aku memberikan kepada setiap orang yang berhak, bersedekah, dan menjadikan sebagiannya untuk kaum kerabat.”
Kemudia Allah mengujinya, maka dia memberikan sebgaian dari karunia-Nya kepadanya. Namun kemudian dia mengkhianati janjinya. Allah mengisahkan keadaannya dalam Al-Qur’an (ayat ini) [dikutib dari Kitab Tafsir Al-Maraghi, Asbabun Nuzul QS. At-Taubah: 75 – 78]
Kisah Tsa’labah ini juga diterangkan [dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir]; ketika peternakan Tsa’labah sudah berkembang pesat, ia pindah kesuatu lembah di pinggiran kota Madinah, sehingga ia hanya dapat menunaikan sholat berjama’ah pada waktu zuhur dan asyar, sedang sholat-sholat yang lain tidak. Kemuadian ternak kambingnya berkembang hingga bertambah banyak, lalu ia menjauh lagi dari Madinah, sehingga tidak sempat lagi shalat berjam’ah, kecuali hanya sholat jum’at.
Akhirnya karena ternaknya makin berkembang pesat, shalat Jum’at pun ia tinggalkan. Ketika sahabat menceritakan kepada Rasulullah semua yang dialami Tsa’labah, maka Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah Tsa’labah, celakalah Tsa’labah”. Dan Allah SWT menurunkan firman-Nya,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. [At-Taubah (9): 103].
Kesudahan hidup Tsa’labah setelah dicap oleh Allah dalam ayat tersebut, sebagaimana dinukilkan dalam Kitab Tafsir Jalalain, “Dan ketika ia (Tsa’labah) datang menghadap Rasulullah SAW sambil membawa zakatnya, akan tetapi Rasulullah berkata kepadanya,”Sesungguhnya Allah telah melarangku menerima zakatmu.”
Bagaimana nasib akhir hidup dari Tsa’labah ini? Ada perbedaan pendapat tentang ini. ada yang berpendapat bahwa Tsa’labah diampuni kesalahannya serta kehilafan yang dilakukannya, karena beliau termasuk sahabat Badar (ikut dalam peperangan Badar). Para ahli badar ini sudah dijamin termasuk sahabat mulia.
Ada pula yang berpendapat bahwa Tsa’labah ini hidupnya berakhir tragis, karena zakat yang mau ia keluarkan tidak diterima oleh tiga khalifah di masa itu, sampai ia meninggal dunia.
Bagaimana pun akhir kisah dari Tsa’labah bin Hatib ini, pastinya banyak hikmah dan pelajar di balik kisah ini, di antaranya:
1. Mau Kaya Jangan Instan
Semua yang instan pasti akan berdampak negatif. Misalnya mie instan. Bila Anda terlalu sering mengkonsumsi mie instan, kesehatan Anda dikemudian hari akan memburuk.
Nah, kekayaan yang didapatkan dengan cara instan pun demikian. Efek negatif yang sering terdeteksi dari kaya dadakan adalah sombong, pelit, dan suka pamer. Karenanya, bila Anda ingin kaya, bersabarlah dan berproses sebagaimana orang kaya lainnya yang mendapatkan hasil jerih payahnya dengan susah payah.
2. Berprasangka Baik Kepada Allah Swt
Pilihan Allah Swt berbeda dengan pilihan manusia. Pilihan Allah Swt memang terkadang awalnya terasa menyakitkan. Namun, tidak jarang setelah itu pasti ada hikmah di balik peristiwa menyakitkan tersebut yang kita ketahui di kemudian hari.
3. Sudah Kaya Jangan Lupa Berbagi
Orang yang terbiasa susah secara ekonomi kemudian mendapatkan kekayaan nomplok terkadang kerap lupa akan asal usulnya. Hal ini tentu berbeda dengan orang susah yang kemudian sukses dengan keringatnya sendiri.
Berbagi pada sesama merupakan kewajiban kita sebagai makhluk sosial. Semakin banyak harta yang kita miliki seharusnya semakin cepat kita menjadi dermawan. Toh, kekayaan yang kita miliki tidak akan di bawa mati. Sebab, orang yang terakhir masuk surga itu orang-orang kaya.
4. Berbagi Jangan Menunggu Kaya
Berbagi pada sesama tidak perlu menunggu kaya dulu. Kalau begitu cara berpikirnya, kita tidak akan pernah berbagi pada orang lain yang membutuhkan. Wong, kita sendiri saja belum kaya.
Allah Swt menilai amal baik seseorang itu bukan dari berapa banyak Anda memberi, bukan dari kuantitas yang Anda sumbangkan. Tuhan menilai seberapa besar keikhlasan Anda memberi, walaupun pemberian Anda pada orang lain hanya sebesar biji bayam.
5. Hidup Akan Selalu Berputar
Selain Allah Swt, semuanya tidak ada yang kekal. Saat ini kita kaya, bisa saja besok atau lusa kekayaan kita akan ludes karena bangkrut. Ingatlah, kehidupan itu selalu berputar. Ada siang juga ada malam. Ada si kaya juga ada si miskin. Ada kesuksesan juga ada kegagalan.
Karena itu, mohonlah selalu pada Allah agar segala langkah yang kita pilih merupakan bimbingan dari-Nya. Kita perlu khawatir akan salah langkah jika tidak selalu memohon pada-Nya. Jadi, tawakal setelah berusaha maksimal itulah kunci keberhasilan mukmin sejati. (*)
*Disadur dari berbagai sumber